Berikut riviu singkat saya terkait masalah hukum kepailitan, boleh disanggah apabila ada argumen lain. sebagai berikut :
1.Segi penegakkan hukum
Tidak konsistennya putusan pengadilan (Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung) dalam menyelesaikan kasus kepailitan. Banyak kasus terdapat perbedaan penafsiran antara Hakim Pengadilan Niaga dan Hakim Mahkamah Agung.
2.Segi materi muatan atau substansi hukum
Terdapatnya aturan dalam rezim kepailitan yang saling bertentangan, termasuk pertentangan yang ada di dalam UU Kepailitan itu sendiri. Pertentangan tersebut, misalnya antara Pasal 60 Ayat (2) UU Kepailitan dengan Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan. Di satu sisi, pasal 60 Ayat (2) UU Kepailitan, mewajibkan kreditur separatis untuk membagi hasil penjualan barang jaminan kepada kreditur istimewa, seperti tagihan pajak. Di sisi lain Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan merumuskan, dalam batas waktu tertentu, kreditur separatis dapat melelang jaminan kebendaannya. Hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi piutang dan bunganya. Jika ada sisa hasil penjualan, baru lah kreditur separatis menyerahkannya kepada kurator.
“Seharusnya Pasal 60 Ayat (2) UU Kepailitan ini diabaikan saja. Karena jika hakim menggunakannya, tidak akan ada lagi bank atau investor lain yang mau meminjamkan uangnya tanpa ada kepastian atas jaminannya,”
Bertentangan dengan UU lain
Ketidakharmonisan juga terjadi antara UU Kepailitan dengan undang-undang lain. Misalnya dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( UU Pajak). Pasal 21 UU Pajak misalnya menyebutkan, negara mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Aturan lain yang bertentangan dengan UU Kepailitan adalah UU Ketenagakerjaan. Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan itu merumuskan, dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Untuk Pasal 21 UU Pajak, tidak banyak bermasalah, bahwa tagihan pajak lebih tinggi dari pada kreditur lain, jika kreditur separatis hendak melelang jaminannya sesuai dengan Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan. Pasal 1137 KUH Perdata sudah menentukan bahwa hak dari kas negara, kantor lelang dan badan umum pemerintah harus didahulukan dari kreditur yang lain,” .
Namun untuk konteks tagihan buruh, mungkin berbeda, yaitu untuk mengatrolnya menjadi tagihan yang lebih diutamakan ketimbang utang lainnya. Beberapa pendapat menyatakan, bahwa “Untuk upah buruh, tidak bisa didahulukan karena upah buruh bukan bagian kas negara.”
Bukan primadona
Oleh sebab itu dalam praktik, bahwa instrumen kepailitan bukan pilihan utama untuk menyelesaikan kasus ‘mangkirnya’ seorang debitur.
Maraknya putusan hakim yang berada di luar jalur hukum kepailitan, membuat para pencari keadilan enggan memilih pengadilan niaga. Di luar itu, ada beberapa masalah teknis yang mengganjal. Misalnya masalah biaya yang relatif besar dikeluarkan, proses yang bertele-tele, tidak konsistennya hakim pengawas, sampai masalah sering terlambatnya persidangan.
Dalam praktik, jarangnya kreditur separatis menggunakan jalur kepailitan, karena tidak adanya perlindungan hukum untuk memakai Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan.
Hal yang sama juga terjadi pada buruh. Ketika menuntut upah atau hak lain dari perusahaan yang sudah tidak ‘sehat’, buruh lebih senang mengeksekusi barang milik perusahaan ketimbang mengajukan permohonan pailit. Hal ini dapat dimaklumi, apabila memakai mekanisme kepailitan, buruh sering tidak mendapatkan hasil apapun. Upaya buruh mengajukan permohonan judicial review terhadap UU Kepailitan pun ternyata kandas di tangan Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar